Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus hukum investasi bodong terus bergulir. Kali ini giliran pemilik robot trading Net89, Reza Shahrani alias Reza Paten yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.
Reza dijerat dengan pasal berlapis. Antara lain Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 26 dan/atau Pasal 34 ayat 1 juncto Pasal 50 UU Nomor19 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal lain yang disangkakan adalah Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ada 230 orang korban yang melapor pada kasus Net89, dengan total kerugian ditaksir mencapai Rp 28 miliar. Terkait kasus ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun telah membekukan rekening milik Reza senilai lebih dari Rp 1 triliun.
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih, menilai bahwa jerat TPPU pada kasus investasi bodong sudah tepat. Dengan begitu, penipuan berkedok investasi yang kemungkinan memakai skema ponzi ini bisa ditelusuri.
Baca Juga: Investasi Bodong Reza Paten, PPATK Sudah Menyegel 150 Rekening Bermozet Rp 1 Triliun
Yenti menegaskan, semua pihak yang menikmati hasil trading ilegal tersebut bisa dikenai sanksi pidana TPPU. Dana dari tindak kejahatan ini bisa dirampas, untuk dikembalikan kepada pihak yang dirugikan akibat penipuan.
"Sangat mungkin (dijerat TPPU), karena sudah ada hasil kejahatan dan penipuan investasi berkedok trading. Semua hasil kejahatan disita. Masalah harus pembuktian terbalik, bisa nanti di Pengadilan," kata Yenti kepada Kontan.co.id, Senin (7/11).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nindyo Pramono menambahkan, penerapan TPPU bisa memberikan ganjaran hukum yang maksimal terhadap pelaku, sehingga bisa memberikan efek jera. Berbeda jika hanya menggunakan Pasal 378 dan 372 KUHP.
Menurut Nindyo, penggunaan pasal penipuan dan penggelapan dengan ancaman hukuman 4 tahun tidak akan memberikan efek jera. "Jadi penipuannya merupakan predicate crime untuk masuk ke TPPU, ancaman hukumannya maksimal 20 tahun. Jika penipuan dan penggelapan terbukti, kan itu jadi harta asal ke TPPU," terangnya.
Di sisi lain, Yenti pun mewanti-wanti jika tersangka dalam kasus penipuan investasi bodong ini mengajukan diri sebagai juctice collaborator (JC). Yenti mengingatkan, agar mesti dipelajari terlebih dulu bagaimana peranan tersangka yang ingin menjadi JC.
Sebab, JC ditujukan bukan untuk pelaku utama, tetapi pelaku yang bisa memberikan keterangan atau tahu banyak tentang perkara kejahatan. Sehingga bisa menjadi petunjuk penting dalam pengembangan kasus atau menjangkau orang lain yang peranannya penting dalam kasus tersebut.
Sebagai JC yang membantu penyidik, dia akan diberi perlindungan dan bisa saja memperingan pidananya. "Kalau pelaku utama ya tidak bisa, nanti semua minta diskon pidana bahkan minta bebas. Jadi tetap diharapkan profesionalitas para penyidik untuk menuntaskan perkara terutama pemahaman TPPU," jelas Yenti.
Sementara itu, Nindyo mengingatkan agar investasi mesti dibarengi dengan rasionalitas dan integritas. Di era disrupsi digital saat ini, masyarakat dituntut lebih cermat dan jangan tergiur dengan modus lama iming-iming keuntungan fantastis.
"Sayangnya masyarakat kita cenderung sudah di zona nyaman dengan gaya hidup materialistis. Diiming-imingi bunga atau hasil investasi ratusan persen tergoda. Tanpa pikir panjang bahwa hal seperti itu tidak rasional di dunia investasi yang benar," tandas Nindyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News