Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, per 8 September jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK telah mencapai sebanyak 107 penyelenggara.
Sementara, per Desember 2020 tercatat ada lebih dari 160 penyelenggara, berkurang drastis hingga menjadi 107 penyelenggara pada 8 September 2021.
OJK mengumumkan, terdapat penambahan satu penyelenggara fintech lending berizin, yaitu PT Lampung Berkah Finansial Teknologi sesuai surat keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK sehingga jumlah penyelenggara fintech lending berizin menjadi 85 penyelenggara. Selain itu, terdapat tujuh pembatalan tanda bukti terdaftar fintech lending, dikarenakan ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional.
Sejumlah penyelenggara dimaksud itu antara lain yakni, PT Berkah Finteck Syariah, PT Pundiku Mitra Sejahtera, PT Serba Digital Teknologi, PT Solusi Bijak Indonesia, PT Prima Fintech Indonesia, PT Oke Ptop Indonesia, dan PT BBX Digital Teknologi.
Baca Juga: Hingga kuartal III, penyaluran pinjaman Modal Rakyat melesat 125%
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan menjelaskan, ada beberapa hal kenapa pemain berkurang. Pertama, bisnis mereka kurang berkembang. Model bisnis yang ditawarkan tak mampu mendapatkan minat pengguna (pemberi dan penerima pinjaman). Akibatnya, pendapatannya rendah dan tak mampu menopang biaya.
Kedua, kata Bambang karena sistem elektronik kurang andal sehingga tak mampu melakukan proses underwriting secara andal. "Sistemnya tak mampu menghasilkan scoring yang mampu melakukan profiling yang lebih akurat," ujar Bambang kepada kontan.co.id, Senin (5/10).
"Kekuatan P2P lending adalah teknologi informasi (TI) karena keseluruhan proses lebih banyak bertumpu pada TI, khususnya pada artificial intelligence (AI) dan big data. Bisnis P2P lending membutuhkan komitmen untuk investasi pada IT," lanjutnya.
Ketiga, persoalan permodalan. Banyak penyelenggara bermodal kecil. Tak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal. Dalam 3 tahun operasi, mayoritas penyelenggara belum mampu menghasilkan laba, dan modalnya terus tergerus.
Baca Juga: Gandeng Kredivo, DBS Indonesia salurkan pendanaan Rp 1 triliun
Bambang menyebut, dalam Peraturan OJK No. 77/2016 persyaratan modal disetor minimum Rp 2,5 miliar, dan memang terlalu kecil. Banyak yang modal disetor di atas Rp 2,5 miliar pun tapi tidak bisa bertahan.
"Kami sedang menyiapkan peraturan baru, salah satu isinya adalah peningkatan modal disetor agar mencukupi untuk bisa bertahan di fase awal sebelum mampu menghasilkan laba," kata Bambang.
Keempat, menurut Bambang, penyelenggara tak mampu memenuhi persyaratan perizinan yang telah ditetapkan OJK. "Tren ke depan, setelah kami mencabut moratorium, akan ada yang mengajukan perizinan sehingga jumlah pemain kemungkinan akan bertambah," imbuh Bambang.
Selanjutnya: Outstanding pembiayaan fintech per Agustus capai Rp 26,10 triliun, ini pendorongnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News