kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini tanggapan pelaku usaha energi terkait biaya pembangkit EBT yang kalah kompetitif


Kamis, 04 Maret 2021 / 09:00 WIB
Ini tanggapan pelaku usaha energi terkait biaya pembangkit EBT yang kalah kompetitif

Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Beberapa pelaku usaha mengungkapkan masih ada selisih antara biaya pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan pembangkit fosil khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa mencontohkan, saat ini biaya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)  bergantung pada kapasitas yang dibangun.

"Yang puluhan MWp sekitar US$ 8 sen sampai US$ 9 sen per kWh. Sementara yang ratusan MWp bisa lebih rendah dari US$ 6 sen per kWh," ujar Andhika kepada  Kontan.co.id, Rabu (3/3).

Dia menambahkan, kondisi serupa juga sejatinya terjadi pada PLTU dimana kapasitas menentukan besaran biaya pembangkit. Kendati demikian, Andhika memastikan untuk PLTU secara umum tidak melebihi US$ 4 sen per kWh.

Sementara itu, biaya pembangkit untuk PLTS pun kian kompetitif. Namun, hal ini dinilai belum cukup untuk menyamai atau melampaui PLTU.

"Untuk mempercepat break even dengan PLTU bisa dilakukan pemerintah dalam kebijakan percepatan PLTS," jelas Andhika.

Dia melanjutkan, kendati pemerintah mempunyai rencana jangka panjang dalam implementasi PLTS secara masif, sejumlah hal juga harus dibenahi secara paralel.

Sejumlah poin tersebut menyangkut penyempurnaan instrumen kebijakan meliputi studi jaringan interkoneksi PLTS besar, penyiapan lahan, penyiapan lembaga perbankan sebagai pembiayaan nasional.

Baca Juga: Menteri ESDM: PLTS dan PLTA bakal jadi tumpuan EBT

Dengan sejumlah terobosan tersebut, Andhika meyakini pengembangan PLTS akan semakin kompetitif termasuk dari segi biaya pembangkitan.

Saat ini sendiri, pemerintah tengah menggodok Rencana Peraturan Presiden Harga Listrik EBT yang diharapkan bisa diteken dalam waktu dekat. Andhika berharap kehadiran regulasi ini nantinya mampu mendorong minat pelaku PLTS.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Riza Husni meragukan kehadiran Perpres EBT bakal berdampak banyak pada implementasi PLTMH ke depannya.

"Kalau dari draft yang beredar, sepertinya akan biasa saja. Tidak terlihat percepatan Energi Terbarukan," kata Riza kepada  Kontan.co.id, Rabu (3/3).

Riza melanjutkan, saat ini biaya pembangkit yang dikenakan untuk PLTMH skala besar sekitar US$ 7 sen sampai US$ 8,5 sen per kWh.

Sementara untuk skala kecil di bawah 10 MW, besaran yang dikenakan di bawah Rp 950 per kWh.

"PLTU yang baru di US$ 5 sen per kWH tanpa dihitung efek lingkungan. Karena PLTMH kontraknya dalam rupiah tentu jangka 5 tahun akan lebih murah dari PLTU," sambung Riza.

Riza pun berharap, dalam pengembangan PLTMH ke depannya ada langkah konkrit pemerintah. Apalagi saat ini, ia menilai energi air skala kecil sudah lebih murah ketimbang energi fosil.

Selanjutnya: Banyak kendala, membuat perusahaan ragu berinvestasi energi baru dan terbarukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×