Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik lewat akuisisi perusahaan asal Jerman menuai sejumlah pro kontra.
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan, jika merujuk konteks pendirian IBC sejatinya lebih mengarah pada pengembangan baterai listrik. Hal ini pun didorong potensi nikel yang merupakan bahan baku baterai.
Kendati demikian, Redi menilai sepanjang aksi korporasi yang dilakukan masih berkaitan dengan bisnis inti IBC yakni untuk ekosistem baterai kendaraan listrik maka tidak menjadi soal.
"Sepanjang perusahaan yang diakuisisi itu adalah perusahaan yang memang sehat, perusahaan yang punya potensi bisnis yang bagus ke depan gitu kan," kata Redi kepada Kontan, Kamis (30/12).
Redi menambahkan, proses akuisisi juga tak menjadi masalah asalkan bisa memberikan nilai tambah bagi IBC dan negara.
Baca Juga: Menteri Bahlil dorong IBC akuisisi pabrik mobil listrik dari Jerman
Menurutnya, ada sejumlah poin penting yang harus ditekankan dalam menjalankan akuisisi yakni mempertimbangkan nilai keekonomian, membuka kesempatan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan negara, menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan alih kelola ilmu serta teknologi.
Redi melanjutkan, upaya kolaborasi dengan stakeholder lainnya perlu dilakukan apalagi Indonesia baru mulai membangun industri baterai dan kendaraan listrik.
Ke depannya pun, dalam memastikan adanya alih pengetahuan dan teknologi maka harus ada kepastian investasi di dalam negeri. Apalagi, selama ini Indonesia lebih banyak menghasilkan raw material yang justru akhirnya diekspor.
"Saya kira tadi harus membangun industri dalam negeri dengan bangun pabrik-pabrik di dalam negeri agar peningkatan nilai tambah bagi dalam negeri bisa lebih optimal lagi," pungkas Redi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News