kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini kata Hipmi terkait pembaharuan pajak masukan, konsinyasi, dan faktur pajak


Senin, 22 Februari 2021 / 21:00 WIB
Ini kata Hipmi terkait pembaharuan pajak masukan, konsinyasi, dan faktur pajak

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah baru saja memperbarui ketentuan pajak masukan, konsinyasi, dan faktur pajak. Ini dilakukan untuk mendukung kemudahan berusaha serta mendukung percepatan implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Alhasil, kebijakan terkait pajak pertambahan nilai (PPN) tersebut dituangkan dalam aturan turunan UU 11/2020 yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi yang Melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau Entitas yang Dimilikinya. Beleid ini mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan secara umum reformasi pajak di bidang PPN mengusung semangat kemudahan berwirausaha, namun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. 

Pertama, untuk relaksasi PPN tentunya angin segar bagi pengusaha, namun berpotensi menimbulkan keengganan untuk mengukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). 

Adapun, PP 9/2021 mengatur dalam hal relaksasi hak pengkreditan pajak masukan, pemerintah mengatur tiga ketentuan baru. Pertama,dapat mengkreditkan pajak masukan sebelum dikukuhkan sebagai PKP dengan deemed pajak masukan 80%.

Kedua, pajak masukan tidak dilaporkan di surat pemberitahuan (SPT), dan apabila ditemukan saat pemeriksaan dapat dikreditkan sesuai dengan bukti faktur pajak yang dimiliki.

Baca Juga: Pemerintah perbarui aturan pajak masukan, konsinyasi dan faktur pajak

Ketiga, pajak masukan ditagih dengan ketetapan pajak dapat dikreditkan sebesar pokok pajak. Sementara itu, aturan saat ini sebagaimana aturan sebelumnya yakni PP Nomor 11 Tahun 2012, ketiga skema pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. 

“Jadi akan ada WP yang berpikir nanti saja kalau ketahuan, toh pajak masukan nya masih bisa dikreditkan nantinya,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (22/1). 

Kedua, untuk perubahan aturan tentang konsinyasi bukan barang kena pajak (BKP) disambut positif. Sebab, menurut dia, barang konsinyasi pada prinsipnya adalah barang yang dititip jualkan, yang pada tataran praktiknya banyak terjadi retur, sehingga menambah beban pembukuan. 

Ketiga, penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) disamaratakan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam rangka pembuatan faktur pajak dinilai akan menjadi dilema bagi PKP. Ajib mengatakan di lapangan, banyak pengusaha kesulitan mendapatkan data pembelinya, baik berupa NIK maupun NPWP.

Baik karena transaksi one shot only, seperti customer yang datang sambil lewat sesekali, maupun karena memang tidak mau identitasnya diketahui. 

“Di satu sisi ingin taat aturan, di sisi lain pembeli tidak mau tahu dan bila tidak mau, pembeli lebih memilih mencari penjual lain yang non PKP atau yang mau bertransaksi tanpa NIK atau NPWP. Ssaya rasa perlu jadi concern, bagaimana penerapan di lapangan bisa smooth dan diterima dengan baik,” ujar Ajib.

Selanjutnya: Pemerintah tengah membahas skema insentif untuk industri properti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×