kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini Dampak BI Lakukan Burden Sharing Terlalu Lama


Selasa, 11 Januari 2022 / 20:08 WIB
Ini Dampak BI Lakukan Burden Sharing Terlalu Lama
ILUSTRASI. Layar menampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta,

Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center of Economic and Law Studies (Celios) mengimbau Bank Indonesia (BI) untuk menghentikan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana atau yang lebih dikenal dengan kebijakan burden sharing pada tahun ini.

Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, setidaknya BI menghentikan skema burden sharing ini pada paruh pertama tahun ini.

“Tentu sudah menjadi perhatian bahwa burden sharing yang dilakukan terlalu lama akan berdampak terhadap neraca dari bank sentral sendiri,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (11/1).

Baca Juga: Pembayaran Bunga Utang Pemerintah Tahun Lalu Lebih Rendah dari Target

Apalagi, BI dari tahun 2020 sudah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Menteri Keuangan.

Setidaknya, hingga 14 Desember 2021, BI sudah melakukan pembelian SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 201,32 triliun dan terdiri dari pembelian di pasar perdana sebesar Rp 143,32 triliun dan private placement sebesar Rp 58 triliun sesuai dengan SKB III.

Bhima mengatakan, pembelian SBN ini membuat fiskal dimanjakan oleh sokongan dari BI. Selain itu, pembelian aset ini membuat amunisi bank sentral berkurang untuk melakukan intervensi ke pasar surat utang sekunder saat gejolak nilai tukar terjadi.

Belum lagi, risiko imbas pengurangan penambahan likuiditas (tapering off) dari bank sentral negara maju memiliki implikasi terhadap volatilitas nilai tukar.

“Jadi BI tidak bisa terus-menerus lakukan pembelian SBN di pasar primer untuk keperluan stabilisasi nilai tukar rupiah dan stabilisasi harga,” jelasnya.

Baca Juga: Perbankan Masih Akan menjadi Investor Terbesar SBN di 2022

Lebih lanjut, bila nanti BI stop melakukan burden sharing pada paruh pertama tahun ini, Bhima meminta pemerintah untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara.

Apalagi, menimbang realisasi penerimaan pajak di tahun 2021 tembus 100% sehingga ada indikasi fiskal tidak perlu melanjutkan burden sharing pada tahun ini.

Selain itu, pemerintah juga bisa menghemat belanja dengan menggunakan alokasi belanja untuk keperluan yang lebih penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×