kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Ini 3 jurus BPN mengatasi konflik agraria


Kamis, 07 Januari 2021 / 07:05 WIB
Ini 3 jurus BPN mengatasi konflik agraria

Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyiapkan sejumlah strategi untuk menangani konflik agraria yang kerap terjadi di masyarakat.

Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra mengatakan, konflik agraria yang terjadi bisa saja karena permasalahan ketimpangan akses dan kepemilikan atas tanah. Sebab itu, reforma agraria dicanangkan untuk menangani permasalahan tersebut.

Selain itu, Surya menyebut ada sejumlah hal yang harus dilakukan untuk menangani konflik agraria. Pertama, membutuhkan adanya leadership kuat karena aspek lintas sektor sangat dominan.

Kedua, koordinasi dan komunikasi efektif antar kementerian/lembaga. Ketiga, pemahaman menyeluruh terhadap kebutuhan masyarakat.

Baca Juga: Awal tahun 2021, Presiden Jokowi serahkan lebih dari 500.000 sertifikat tanah

Selain itu, Surya mengaku penyelesaian sengketa pertanahan juga membutuhkan waktu karena sebagian persoalan timbul karena masalah prosedural.

Sebab itu, perlu kehati-hatian dalam mengurai permasalahan tersebut. Hal ini yang kerap kali juga terjadi dalam sengketa agraria antara masyarakat dengan korporasi. “Kami berharap ada penyelesaian yang sistematis,” kata Surya saat diskusi virtual, Rabu (6/1).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, data KPA mencatat sejak tahun 2015 hingga tahun 2020 terdapat 2.288 konflik agraria yang bersifat struktural.

KPA menyebut, penyelesaian konflik agraria mengalami kemacetan luar biasa selama 2020 karena adanya pengabaian dari pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik.

KPA menilai perlu ada perubahan paradigma yang mutlak untuk dilakukan dalam melihat hak rakyat atas tanah yang sifatnya konstitusional.

Paradigma ini juga perlu memahami dan mengoreksi terhadap konsep – konsep tanah negara dan kawasan hutan yang dinilai salah kaprah dan telah banyak memasukkan desa – desa dan kampung – kampung kedalam klaim tanah negara, kawasan hutan termasuk kawasan konsesi perusahaan.

KPA mengusulkan perlunya pembentukan badan khusus untuk penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dan eksekutorial. Pasalnya sering kali banyak kelembagaan di banyak kementerian menangani konflik hanya menerima pengaduan.

Baca Juga: Realisasi perhutanan sosial capai 4,4 juta hektare hingga awal Desember

Akan tetapi tidak menuntaskan konflik dan tidak bersifat eksekutorial. Sebab, hal ini sifatnya lintas sektoral sehingga harus dipimpin langsung oleh presiden dan proses penyelesaian harus sesuai dengan tujuan reforma agraria.

“Dengan adanya kelembagaan khusus yang otoritatif dan eksekutif ini, proses pelepasan klaim – klaim konsesi dan hak atas tanah yang puluhan tahun menjerat masyarakat dapat direalisasikan secara konkret, sistematis, cepat dan tepat sasaran,” tutur Dewi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

×