Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional masih diliputi prahara seiring ketidakpastian ekonomi. Imbasnya, gelombang PHK di industri ini tak terhindarkan.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut bahwa jumlah pekerja industri tekstil yang terkena PHK sejak masa pandemi Covid-19 mencapai 45.000 pekerja.
Sementara menurut Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB), sampai saat ini sudah ada sekitar 64.000 pekerja dari 124 perusahaan tekstil di Jawa Barat. Padahal, sebagian besar produsen tekstil di Indonesia beroperasi di Bumi Pasundan.
Di sisi lain, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengklaim belum ada kejadian PHK di sektor hulu TPT. Namun, ada sekitar 1.000-1.500 pekerja hulu TPT yang terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu akibat efek domino perlambatan kinerja di sektor hilir TPT.
Baca Juga: Waspadai PHK Lanjutan, Industri TPT Bakal Wait and See pada Tahun Depan
Meski datanya berbeda-beda, jumlah pekerja industri TPT yang terkena PHK dapat terus bertambah. Gelombang PHK ini bahkan menyerupai fenomena gunung es. Pasalnya, masih banyak pemain industri tekstil yang belum melaporkan kondisi bisnisnya, terutama di kalangan industri kecil menengah (IKM).
Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, Ketua API menilai, industri TPT tertekan oleh seretnya permintaan ekspor dari Eropa. Tingkat inflasi di sejumlah negara Eropa mencapai dua digit. Mata uang euro pun melemah signifikan terhadap dolar AS.
Akibatnya, daya beli masyarakat Eropa ikut tergerus. Mereka lebih memprioritaskan kebutuhan yang lebih pokok seperti pangan dan energi, alih-alih produk fesyen.
"Pelemahan ekspor terasa sejak kuartal ketiga lalu. Banyak order ekspor yang pengirimannya harus ditunda, bahkan sampai awal tahun depan," ungkap Jemmy dalam jumpa pers virtual, Rabu (2/11).
Pasar domestik sebenarnya masih menjanjikan berkat populasi penduduk yang besar. Terlebih lagi, kenaikan inflasi di Indonesia tidak setajam negara-negara lain. Sayangnya, itu belum bisa dioptimalkan karena produk-produk TPT impor justru membanjiri Tanah Air.
Sebagian besar produk TPT impor itu berasal dari China, Bangladesh, dan India yang notabene sama-sama produsen TPT kelas kakap. Lantaran ikut kesulitan mengekspor produk ke Eropa, mereka menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif.
"Produk tekstil impor merajalela dan dijual semau-maunya. Tidak sesuai aturan atau semi ilegal," kata Redma Gita Wirawasta, Ketua APSyFI dalam kesempatan yang sama, Rabu (2/11).
Baca Juga: Tahun 2023, Bisnis Industri Tekstil dan Produk Tekstil Diprediksi Masih Apes
Sebelumnya, Kasan Muhri, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan bilang, pihaknya sudah menerapkan kebijakan safeguard dan anti dumping untuk melindungi industri TPT dalam negeri dari ancaman banjir impor. Kebijakan ini bahkan sudah ada sejak sebelum masa pandemi.
Jemmy mengaku, sebenarnya masih banyak harmonized system (HS) code terkait barang impor TPT yang belum dikenakan safeguard. Maklum, pengajuan safeguard harus melalui prosedur yang sangat ketat dengan melibatkan banyak kementerian dan harus sesuai pedoman World Trade Organization (WTO).
Redma berharap pemerintah bisa konsisten memperketat kebijakan impor TPT, termasuk menindak tegas im
"Kalau pasar lokal aman, pemerintah tak perlu beri banyak stimulus," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News