Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Geliat industri manufaktur Indonesia masih ekspansif di Februari 2022. Namun tingkat ekspansinya tidak secepat bulan sebelumnya. IHS Markit melaporkan, Purchasing Managers' Index (PMI) atau indeks manufaktur Indonesia berada di posisi 52,2, atau turun dibandingkan Januari yang sebesar 53,7.
Penurunan ini diakibatkan kasus penyebaran Covid-19 varian omicron yang penyebarannya sangat cepat, sehingga angka penularan meningkat dan berdampak pada kepercayaan diri dalam bisnis.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ketidakpastian pandemi akan berdampak terhadap stabilitas permintaan domestik dan ekspor. Sehingga produsen akhirnya masih kesulitan melakukan proyeksi kebutuhan stok, padahal biaya produksi terus naik.
Meski begitu, Bhima memperkirakan, indeks manufaktur Indonesia tetap bisa di atas 50 sampai 52 di semester I 2022. Dengan syarat, kenaikan dari biaya produksi bisa ditekan. Sebab, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), harga produsen mengalami inflasi 2,74% di kuartal IV 2021.
Baca Juga: Sri Mulyani Pamer Ekonomi Indonesia Sudah Kembali ke Level Pra Pandemi Covid-19
Dengan kondisi saat ini, terlebih karena biaya logistik yang meningkat akibat harga minyak mentah global naik. Ditambah, ada tekanan dari negara asal importir bahan baku karena krisis di Ukraina, sehingga bisa meningkatkan biaya produksi lebih tinggi lagi di sekor manufaktur khususnya di biaya makanan dan minuman.
“Khawatirnya, bisa menggerus margin dari industri manufaktur. Apakah kenaikan biaya produksi akan diteruskan ke kosumen? Problemnya tidak semua konsumen siap menghadapi kenaikan dari biaya ritel dan barang secara bersamaan,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (1/3).
Selain itu, adanya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang mulai berlaku pada April mendatang, akan berpengaruh terhadap keyakinan konsumen untuk membeli barang. Sehingga marginnya akan semakin tipis. Bhima menyarankan agar pengusaha bisa mencari cara apakah akan menurunkan kualitas produk atau menurunkan kuantitas barang seperti packingnya yang menjadi lebih kecil.
Tantangan industri manufaktur yang lain adalah bunga pinjaman akan jadi lebih mahal di 2022. Hal ini karena ada kenaikan tren suku bunga acuan yang terjadi di berbagai negara. Sehingga membuat pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri mengalami penyesuaian tingkaut suku bunga. “Ujungnya akan menekan biaya produksi di industry manufaktur,” jelasnya.
Tantangan lain, daya saing beberapa produsen di negara lain yang akan terus melakukan efisiensi produksi atau beralih ke industri 4.0. Bhima bilang, industri manufaktur yang masih lambat beralih ke teknologi akan kalah saing dengan pesaing di negara lain karena harga jualnya yang lebih rendah.
Di sisi lain, saat ini industri manufaktur yang berorientasi pada ekpor, memang mengalami kenaikan, meskipun ada gangguan dari stabilitas geopolitik. Bhima menyarankan pelaku usaha perlu melakukan standardisasi ekspor dengan memperkrtat produk.
Kemudian, memperketat dari segi lingkungan, kualitas dan berbagai hambatan-hambatan nontarif. “Ini yang perlu dicermati karena berbagai negara sedang memenggaungkan kebijakan profeksionismenya untuk menggaungkan kebijakan impor pasca pandemi, jadi itu yang perlu di perhatikan pengusaha,” kata Bhima.
Bhima menambahkan, agar indeks manufaktur terus berada di zona ekspansif, kuncinya adalah pemerintah memberikan berbagai insentif kepada pelaku industri. Misalnya pembebasan pajak untuk bahan baku yang bersumber didalam negeri, atau industri yang berorientasi pada substitusi impor.
Selanjutnya, penyerapan pengadaan barang pemerintah baik pusat maupun daerah yang perlu dipercepat sehingga serapan produk manufaktur ikut terbantu. Meski belanja pemerintah kontribusinya hanya 10% dari PDB, dalam kondisi permintaan masyarakat belum pasti, belanja pemerintah bisa diandalkan.
“Fasilitas ekspor dan pencarian pasar pasar alternatif diluar dari negara yang terdampak perang atau eropa timur-rusia mendesak dilakukan,” imbuh Bhima.
Baca Juga: Meski Masih Ekspansif, PMI Manufaktur Indonesia Turun pada Februari 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News