kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

IDI: Rekomendasi Organisasi Profesi untuk Surat Izin Praktik Masih Diperlukan


Selasa, 08 November 2022 / 05:56 WIB
IDI: Rekomendasi Organisasi Profesi untuk Surat Izin Praktik Masih Diperlukan
ILUSTRASI. Dalam draf RUU Kesehatan, surat izin praktik (SIP) tidak lagi melalui rekomendasi organisasi profesi medis

Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan atau omnibus law kesehatan tengah disiapkan.

Salah satu isu yang dibahas yaitu terkait dengan Surat Izin Praktik (SIP). Dalam draf RUU Kesehatan, SIP tidak lagi melalui rekomendasi organisasi profesi medis atau yang sebelumnya diamanahkan pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum IDI, Slamet Budiarto tidak sepakat dengan penghapusan rekomendasi organisasi profesi medis untuk mendapatkan SIP. Menurutnya, rekomendasi profesi masih diperlukan untuk memverifikasi seorang dokter baik atau tidak dalam melayani masyarakat.

"Jika tidak siapa yang bisa menjamin misalnya ada dokter yang mau buka praktik apa bukti dia kompeten dan memiliki etik yang baik," terang Slamet pada Kontan.co.id, Senin (7/11).

Baca Juga: IDI Tolak Usulan Baleg Tentang RUU Kesehatan Omnibus Law Masuk Prolegnas 2023

Slamet menilai, saat ini pemerintah tidak memiliki sumberdaya manusia yang bisa melakukan screning dokter untuk membuka praktik.

Ia menyebutkan, IDI bukan hanya memberikan rekomendasi izin praktik kepada dokter, melainkan juga memberikan pembinaan etik pada Dokter.

"Kalau semuanya wewenangnya dilimpahkan kepada pemerintah tidak bisa berjalan optimal karena kuwalahan," tambahnya.

Slamet mengatakan, jika permasalahan dalam pengajuan rekomendasi SIP memakan waktu yang lama, lebih baik pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur terkait penentuan waktu penerbitan rekomendasi SIP.

"Bukan malah meniadakan," jelas Slamet.

Selain itu, Slamet menegaskan, IDI menolak RUU Kesehatan menggunakan metode Omnibuslaw, karena dianggap tidak ada urgensi terkait hal ini. Menurutnya, yang lebih penting saat ini adalah pembahasan terkait pembiayaan kesehatan, terlebih katanya Indonesia belum menerapkan standar pembiayaan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 15% dari APBN.

Baca Juga: IDGI: Produksi dan Distribusi Dokter harus diatur dalam RUU Kesehatan Omnibus law

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×