Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah memfinalisasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai pemanfaatan biomassa untuk campuran bahan bakar di pembangkit batubara (PLTU). Rencananya, harga patokan tertinggi (HPT) biomassa untuk co-firing ini 1,2 kali dari harga batubara. Meski demikian, HPT ini belum dinilai menarik untuk industri cangkang sawit.
Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI), Dikki Akhmar menjelaskan, kebutuhan cangkang sawit untuk co-firing di dalam negeri belum sebanyak di pasar internasional.
“Akan tetapi dengan kewajiban PLN memenuhi target 23% kewajiban penggunaan bioenergi untuk 2025, maka cangkang sawit mulai dibutuhkan di dalam negeri dengan jumlah yang cukup signifikan khususnya untuk cangkang sawit yang ada di daerah di mana PLTU ada di sana,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/9).
Adapun saat ini regulasi soal Standar Nasional Indonesia (SNI) cangkang sawit pun sudah mulai di undang-undangkan sebagai syarat masuknya sebagai komoditas yang bisa diterima oleh PLN.
Baca Juga: Industri Hutan Harapkan Kontrak Jangka Panjang untuk Pasok Wood Chips
Namun saat ini, pelaku usaha dihadapi persoalan harga cangkang sawit dan biaya logistik yang cukup tinggi bila dikirim di wilayah dalam negeri. Maka itu, penjualannya masih dominan atau 80% ke luar negeri dan 20% ke dalam negeri.
Dikki mengemukakan, harga cangkang sawit ke dalam negeri berkisar Rp 1.500 per kilogram (kg) sampai Rp 1.600 per kg.
Saat ini pemerintah sedang memfinalisasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai pencampuran biomassa untuk bahan bakar batuara di PLTU yang di dalamnya mengatur formula harga biomassa. Kabar terakhir, Harga Patokan Tertinggi (HPT) yang akan ditetapkan ialah 1,2 kali harga batubara Free on Board (FoB).
Bagi sejumlah pihak, formula harga tersebut sudah cocok untuk beberapa komoditas biomassa. Namun tidak terlalu menarik bagi pengusaha cangkang sawit.
“Tidak menarik, kalau tidak ditunjang dengan peraturan lain,” sebut Dikki.
Hal yang sama juga dikemukakan Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan.
Milton menjelaskan, berdasarkan Peraturan Direksi (Perdir) PLN dari Harga Patokan Tertinggi (HPT) 0,85 kali harga batu bara Cost, Insurance, and Freight (CIF) di PLTU menjadi 1,0 kali harga batu bara CIF di PLTU. Adapun sekarang melalui Permen Cofiring, dalam draft terakhir HPT biomassa untuk cofiring adalah 1,2 kali harga batubara Free On Board (FoB).
Baca Juga: Pemerintah Atur Harga Patokan Tertinggi Biomassa untuk Co-Firing, Ini Kata Pengusaha
“Harga ini sudah kondusif untuk wood chip dan bahan bakar biomassa dari limbah pertanian, perkebunan, hutan dan juga dari sampah. Namun, belum bisa diterapkan untuk jenis bahan bakar biomasa dengan potensi terbesar yaitu pelet kayu (Wood Pelet) dan biomasa yang paling siap yaitu cangkang sawit,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/9).
Sebagai catatan, Milton menyatakan, harga bahan bakar biomassa di sektor industri untuk bahan bakar boiler, lebih tinggi dibandingkan harga untuk co-firing.
Permintaan biomassa untuk sektor industri yang juga melaksanakan dekarbonisasi. Permintaan dari industri turut meningkat dan ditransaksikan secara business to business (B2B) dengan harga beragam sampai Rp 2.000 per kilogram untuk pellet kayu dan cangkang sawit.
“Di sisi lain, ada keunggulan memasok biomassa untuk co-firing pada PLTU yakni volumenya yang besar dan waktu bisa untuk jangka panjang,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News