kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.405.000   -9.000   -0,64%
  • USD/IDR 15.370
  • IDX 7.722   40,80   0,53%
  • KOMPAS100 1.176   5,28   0,45%
  • LQ45 950   6,41   0,68%
  • ISSI 225   0,01   0,00%
  • IDX30 481   2,75   0,57%
  • IDXHIDIV20 584   2,72   0,47%
  • IDX80 133   0,62   0,47%
  • IDXV30 138   -1,18   -0,84%
  • IDXQ30 161   0,48   0,30%

Harga Gula Rafinasi Naik, Begini Respon Industri Makanan Minuman


Minggu, 27 Agustus 2023 / 08:15 WIB
Harga Gula Rafinasi Naik, Begini Respon Industri Makanan Minuman

Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri makanan-minuman (mamin) kembali dihadapkan oleh tantangan kenaikan harga gula rafinasi dalam beberapa waktu terakhir. Para produsen mamin pun mesti memutar otak demi menjaga kinerja bisnisnya.

Dalam berita sebelumnya, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) sempat menyebut bahwa harga gula rafinasi diperkirakan telah melonjak hingga 30%, sehingga mempengaruhi kelangsungan produksi mamin nasional.

Ketika dikonfirmasi kembali, Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan, kenaikan harga gula rafinasi sejalan dengan pergerakan harga gula mentah dunia. Meski sedikit menurun sejak bulan Mei 2023, tetap saja harga gula dunia saat ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

Baca Juga: Targetkan Swasembada Gula Tercapai di 2028, Ini Fokus Kemenperin di Industri Gula

"Sebelumnya harga gula sempat menyentuh US$ 28-US$ 29 sen per pon. Sekarang ada di level US$ 23 sen per pon," ujar dia, Rabu (23/8).

Merujuk situs Trading Economics, harga gula dunia bertengger di level US$ 23,15 sen per pon pada Rabu (23/8) pukul 17:30 WIB atau melonjak 28,49% year on year (YoY) dari posisi tahun sebelumnya.

Adhi berpendapat, kekeringan yang melanda India dan Thailand selaku raksasa produsen gula menjadi salah satu penyebab mahalnya harga gula di pasar global. Akibat bencana tersebut, produksi gula dari kedua negara tadi seret.

Ditambah lagi, Brazil yang juga salah satu penghasil gula terbesar dunia kini mengalihkan sebagian besar hasil produksi gula tebu untuk dikonversi menjadi bioetanol. Ini mengingat Pemerintah Brazil menerapkan kebijakan pengurangan subsidi BBM.

Gapmmi menilai, produsen mamin besar biasanya sudah memiliki cadangan stok gula rafinasi yang mencukupi. Mereka juga biasanya sudah menjalin kontrak jangka panjang dengan pihak penyuplai, sehingga dampak kenaikan harga gula rafinasi dapat diminimalisasi.

Produsen mamin besar cenderung lebih konservatif dalam menentukan harga jual produk ke konsumen. Jikalau harus melakukan penyesuaian harga akibat mahalnya harga gula rafinasi, produsen harus bernegosiasi dengan para distributor dan peritel dengan mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat. "Biasanya akhir atau awal tahun kalau produsen mau menyesuaikan harga produk," tutur dia.

Selain mengerek harga, opsi lain yang bisa ditempuh produsen adalah menyesuaikan ukuran produk atau mencari sumber alternatif pemanis lainnya.

Sementara itu, PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co Tbk (ULTJ) mengaku porsi penggunaan gula rafinasi terhadap produk minumannya hanya 6%. Namun, ULTJ tetap mewaspadai tren kenaikan harga komoditas tersebut.

Baca Juga: Pengusaha Cemas Fenomena El Nino Bikin Harga Gula Rafinasi Dunia Terbang Tinggi

Manajemen ULTJ senantiasa memantau kondisi pasar gula dunia dan selalu berusaha membeli bahan baku pada saat harga rendah. "Secara umum, kami mengelola fluktuasi biaya bahan baku melalui kontrak dan hubungan baik dengan para penyuplai langganan," jelas Sekretaris Perusahaan Ultrajaya Milk Industry & Trading Co Pahala R. Sihotang, Rabu (23/8).

PT Siantar Top Tbk (STTP) juga bilang tidak memakai gula rafinasi dalam porsi yang besar. Sebagian besar bahan baku makanan ringan STTP adalah tepung terigu dan kentang. Walau begitu, lonjakan harga gula rafinasi bisa menjadi alarm bagi kelangsungan bisnis STTP jika terjadi terus-terusan.

"Kalau lonjakannya terlalu tinggi, mungkin kami akan lakukan berbagai adjustment," tukas Direktur Utama Siantar Top Armin, Rabu (23/8).

Pada dasarnya, kenaikan harga gula rafinasi bukan satu-satunya tantangan industri mamin. Rencana pemerintah untuk menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan pada 2024 juga berpotensi menekan kinerja industri tersebut pada masa depan.

Gapmmi menganggap kebijakan cukai tersebut kurang tepat. Sebab, sebagian besar penyakit akibat makan-minuman manis justru timbul dari kebiasaan konsumsi masyarakat itu sendiri.

"Meski dikenakan cukai, kalau konsumen tetap makan dan minum yang manis, mereka tetap terancam kena penyakit," pungkas Adhi.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mudah Menagih Hutang Penyusunan Perjanjian & Pengikatan Jaminan Kredit serta Implikasi Positifnya terhadap Penanganan Kredit / Piutang Macet

×