Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan Indonesia harus pulih cepat dari pandemi Covid-19. Pun, lebih cepat dari negara-negara maju. Ini untuk menghindari risiko pengetatan moneter.
Bila Indonesia pulih lebih lambat dari negara-negara maju, maka Indonesia bisa mengulangi lagi apa yang terjadi di 2013, yaitu momok taper tantrum dan risikonya, rupiah bakal gonjang-ganjing.
Senada, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira melihat, risiko taper tantrum merupakan tantangan paling besar bagi nilai tukar rupiah di tahun 2021. Bahkan ia mengingatkan ini bisa saja terjadi di semester II-2021.
Baca Juga: Laju kredit masih belum optimal, bank mulai dorong pendapatan non bunga
“Taper tantrum atau pembalikan modal asing merupakan tantangan terbesar, karena adanya kebijakan normalisasi neraca bank sentral di negara maju yang sebelumnya melakukan stimulus moneter atau quantitiative easing,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (8/3).
Kekhawatiran Bhima, ini bisa mirip dengan kondisi 2013, di mana dana asing kembali ke negara maju, mempersempit sumber likuiditas valas dan mengakibatkan tekanan pada kurs rupiah.
Kalau semakin jelas tanda pemulihan global, khususnya di Amerika Serikat (AS), maka The Fed bisa saja melakukan tapering off. Meski memang waktunya pun hanya bisa diraba, alias belum bisa dipastikan.
Kalau ada taper tantrum di tahun ini, Bhima melihat nilai tukar rupiah bisa melemah. Tak tanggung-tanggung, mata uang Garuda bisa terkoreksi hingga di kisaran Rp 16.500 hingga Rp 17.500.
Bila nilai tukar rupiah melemah, maka cadangan devisa bisa tergerus untuk keperluan intervensi. Bahkan, Bhima khawatir cadangan devisa yang kini sudah mencapai level tertingginya di US$ 138,8 miliar belum cukup perkasa untuk intervensi.
Baca Juga: Indonesia dibayang-bayangi taper tantrum karena lonjakan imbal hasil obligasi AS?
“Cadangan devisa bisa merosot tajam. Karena kebutuhan untuk pembayaran bunga utang pemerintah maupun swasta juga akan menggerus cadangan devisa ketika rupiah melemah,” tambah Bhima.
Namun, Bhima menawarkan exit strategy untuk kondisi ini. Menurutnya, Indonesia bisa mendorong pemanfaatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk dikonversi lebih besar ke rupiah. Cara lainnya, dengan mendorong hot money di portofolio ke investasi Foreign Direct Investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) sehingga dana asing bisa ditahan lebih lama di Indonesia.
“Ini perlu kebijakan khusus untuk reinvestasi modal asing ke sektor riil. Kebijakan saat ini dinilai belum menarik reinvestasi modal asing ke sektor riil,” tandas Bhima.
Selanjutnya: Laju kredit masih belum optimal, bank mulai dorong pendapatan non bunga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News