Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa pertumbuhan kredit selama masa pandemi masih seret. Hal ini utamanya disebabkan masih lesunya permintaan kredit ke sektor perbankan.
Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan kredit pada September 2020 yang masih pelan. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menegaskan kredit secara year to date (ytd) masih turun (minus) 1,5%. Meskipun secara tahunan atau year on year (yoy) naik tipis 0,12%.
Wimboh juga menyebut, bila perlambatan ekonomi dan permintaan kredit tidak didorong tentunya pada akhir tahun perlambatannya bakal berlanjut.
Dia juga mengatakan, tren permintaan kredit yang melambat bisa tercermin dari jumlah baki debet 100 debitur perbankan terbesar di Indonesia. Dari jumlah itu, mayoritas debitur terbesar atau 57 debitur mengalami penurunan baki debet sebanyak 11,35% sementara 43 debitur lainnya mencatatkan rata-rata kenaikan 27,39%.
Baca Juga: Dorong penurunan bunga kredit dan deposito, LPS akan turunkan bunga penjaminan
Bila diperinci, lima debitur terbesar memang mengalami penurunan baki debet sejak Maret 2020. Antara lain PLN baki debetnya turun Rp 16,49 triliun atau turun 14,74% dari periode Maret hingga September 2020.
Kemudian, Pertamina juga menurun Rp 10,3 triliun, disusul Indonesia Eximbank (LPEI) sebesar Rp 4,8 triliun, Toyota Astra Financial Services Rp 4,7 triliun dan Bulog Rp 4,6 triliun pada periode yang sama.
"Mereka sebenarnya punya dana, tapi untuk menggunakan fasilitas kredit tentu harus berpikir dua kali. Hal seperti ini yang membuat kredit secara ytd masih minus. Inilah yang perlu jadi permintaan untuk mendorong permintaan (kredit) untuk tumbuh," kata Wimboh, dalam Seminar Economic Outloook yang digelar secara virtual, Selasa (24/11).
Untuk mendorong permintaan kredit, tentu diperlukan banyak kebijakan. Bila belakangan ini sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) telah didorong dari sisi permintaan maka selanjutnya adalah dari korporasi besar.
Menurut OJK perlu ada proyek-proyek besar untuk mempekerjakan banyak orang, selain agar menstimulus permintaan kredit hal itu juga menjadi jawaban untuk membuka lapangan kerja baru.
Pasalnya menurut OJK, dari sisi industri jasa keuangan baik sektor perbankan maupun pasar modal sudah memiliki likuiditas yang sangat cukup.
Baca Juga: Berharap bunga kredit kendaraan bermotor turun
Apalagi, sinyal penurunan bunga kredit juga terus berlanjut menyusul kebijakan penurunan bunga acuan Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun 2020. Sekaligus, OJK juga mengimbau kepada perbankan agar tidak terlalu ngotot mendorong margin bunga bersih alias net interest margin (NIM).
Dia memandang, dalam situasi perlambatan ekonomi sangat wajar bila rasio profitabilitas seperti NIM menurun. Malah, bila terjadi tren kenaikan justru hal seperti itu sulit diterima oleh masyarakat.
"Dalam kondisi ini NIM tidak perlu naik. Kalau perlu diturunkan supaya (bunga) kreditnya rendah," paparnya.
Sekadar informasi saja, per September 2020 OJK mencatat total NIM perbankan ada di level 4,29%. Realisasi itu menurun dari periode bulan sebelumnya yang sebesar 4,43%. Adapun, dari sisi rata-rata suku bunga kredit Rupiah telah terjadi penurunan di seluruh jenis.
Terbesar ada di kredit investasi yang secara year on on year (yoy) sudah turun 10,39%. Disusul kredit modal kerja yagn turun 8,63% sementara kredit konsumsi hanya turun 3,76% secara tahunan.
Selanjutnya: Penyaluran kredit di luar Jawa merekah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News