Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) mengakui saat ini praktik pertambangan tanpa izin (Peti) semakin menjamur karena penegakan hukum yang lemah. Adapun saat ini terdapat 2.741 titik lokasi Peti yang didominasi pertambangan mineral.
Ridwan Djamaluddin sebagai Direktur Jenderal Mineral dan Batubara mengatakan pertambangan tanpa izin (Peti) bukanlah pertambangan rakyat. Banyak dipelesetkan seolah-olah kalo rakyat menambang adalah pertambangan rakyat, padahal pertambangan rakyat yang sesungguhnya punya aturan dan regulasi. Sementara Peti tidak mengikuti regulasi yang ada, tidak mengikuti tata kelola yang baik, membahayakan dan merusak.
Secaca esensial, Peti melanggar UUD 45, Peti tidak sejalan dengan pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "Peti dikuasai sekelompok orang bahkan oleh pemodal-pemodal besar," jelasnya dalam acara webinar bertajuk "Peti bukan IPR", Senin (27/9).
Ridwan mengatakan, alasan mengapa jumlah Peti semakin menjamur karena Peti diakui untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tetapi banyak terjadi bahwa Peti adalah keserakahan, artinya orang-orang yang hanya ingin mengeruk keuntungan sumber daya yang ada tanpa mengindahkan peraturan.
"Peti terus menjamur karena kesalahan kita semua termasuk petugas-petugas dan aparat, pejabat yang seharusnya berperan menindak Peti, malah terlibat," tegasnya.
Baca Juga: Harga Terus Melambung Tinggi, Produsen Minerba Lanjutkan Ekspansi
Direktur Teknik dan Lingkungan Minerba, Lana Saria memaparkan berdasarkan pendataan oleh Dirjen Minerba ada 2.741 titik lokasi Peti di mana terdiri dari 96 lokasi komoditas batubara dan 2.645 lokasi peti komoditas mineral di berbagai wilayah baik di dalam maupun di luar WIUP.
Faktor umum motivasi adanya Peti, lanjut Lana, ialah adanya niat melakukan kejahatan karena dilakukan sengaja. "Kemudian adanya kesempatan karena kami akui adanya penegakan hukum yang lemah," ujarnya.
Selain itu, Peti bisa terjadi karena pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan keterbatasan lapangan kerja. Maka dari itu, pihak Dirjen Minerba melakukan penanganan peti dengan kementerian lembaga terkait yakni bersama KESDM, KLHK, Kemendagri, dan Polri.
Dampak kegiatan Peti adalah menghambat kegiatan usaha bagi pemegang izin resmi, membahayakan keselamatan atau menimbulkan korban jiwa, berpotensi terjadi kerusakan lingkungan hidup. "Selain itu, Peti juga berpotensi merugikan penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan pajak daerah, hingga menimbulkan masalah sosial dan gangguan keamanan," jelas Lana.
Ridwan menambahkan, besar potensi kerugian negara akibat Peti sesuai dengan perhitungan Dirjen Minerba, angkanya masih spekulatif sehingga tidak ada data akurat untuk menjelaskan rinciannya. "Namun, kurang lebih besarnya adalah penerimaan negara yang hilang hampir sama dengan penerimaan negara yang kita peroleh. Ini masih angka sepekultif yang harus dikonfirmasi," ujarnya.
Saat ini masih terjadi kendala penertiban Peti lantaran wilayah Indonesia yang luas dan praktik lokasi peti berada di wilayah yang cukup jauh. Namun, tidak berarti praktik Peti ini tidak diketahui petugas. Ridwan mengungkapkan, hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah pelaku Peti jauh lebih banyak daripada jumlah petugasnya serta keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya menertibkan.
Selanjutnya: Negara Asia Timur tinggalkan batubara, jadi lecutan bagi Indonesia kembangkan EBT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News