Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 23% pada tahun 2025 mendatang. Selain itu, sejumlah target lain juga ditetapkan oleh pemerintah seperti pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai 29% pada 2030 mendatang.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha mengungkapkan, target pengurangan emisi karbon sebesr 314 juta ton CO2 pada tahun 2030 atau sebesar 441 juta ton CO2 dengan bantuan internasional menjadi salah satu tujuan seturut komitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Menurutnya, pemanfaatan EBT dapat menjadi salah satu cara untuk mengejar target tersebut. "Pengurangan emisi ini bisa dilalukan melalui penggunaan EBT pada pembangkit dan juga transportasi," jelas Satya ketika dihubungi Kontan.co.id, Minggu (21/8).
Baca Juga: Berbagai Jalan Ditempuh Menggapai Target Energi Bersih
Satya melanjutkan, saat ini realisasi bauran EBT baru mencapai 12%. Untuk itu, upaya menggenjot pemanfaatan EBT diakui bukanlah pekerjaan mudah. Kendati demikian, ia memastikan pemerintah terus berupaya mendorong pengembangan EBT.
Dukungan regulasi diakui jadi salah satu faktor yang bisa mendorong investasi. "Kita Ingin RUU EBT segera rampung, begitu juga Perpres harga EBT (yang) sudah lama dinanti," ungkap Satya.
Di saat bersaman, Satya menegaskan, penciptaan ekosistem energi hijau harus dilaksanakan berbarengan dengan implementasi carbon tax dan carbon pricing.
Selain dukungan dari sisi regulasi, Satya menjelaskan, pemerintah menyiapkan mekanisme keuangan untuk mendongkrak investasi sektor EBT.
"Termasuk di dalamnya Energy Transition Mechanism (ETM) yang melibatkan perbankan dan juga PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)," terang Satya.
Ia mengharapkan, kehadiran skema ini bisa memulihkan iklim investasi khususnya dalam periode transisi energi saat ini.
Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar mengungkapkan, dukungan regulasi kini memang cukup dinantikan pelaku usaha.
"Sekarang ini kan sudah tiga tahun lebih 2 payung hukum UU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET), yang berikutnya Perpres harga beli listrik oleh PLN. Di situ kan yang penting bagi investor kepastian keeonomian," kata Bobby kepada Kontan.co.id.
Bobby melanjutkan, kehadiran Perpres tarif listrik EBT bisa menjawab persoalan gap antara harga jual listrik dari pembangkit batubara dan harga jual listrik dari pembangkit EBT.
Menurutnya, dalam pemanfaatan EBT ke depan, pembangkit base load menjadi salah satu strategi yang akan dilakukan. Dengan kebutuhan itu, pembangkit panas bumi dan hidro menjadi dua jenis pembangkit yang paling memungkinkan.
Sementara untuk jenis pembangkit lain masih menghadapi tantangan intermiten. Untuk itu, Bobby menilai perlu ada investasi untuk pembangunan Energy Storage System (ESS).
Baca Juga: Berlomba Merambah Berkah Bisnis Energi Terbarukan
Adapun, sumber pembangkit EBT lainnya yang potensial yakni Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Bobby mengatakan, pemafaatan PLTBM bisa digenjot dengan mendorong skema hutan tanaman energi. Menurutnya, skema ini bisa dilakukan seiring dengan pengembangan hutan tanaman industri.
"Sekarang ada 11 juta hektare hutan tanaman industri. Dari 11 juta hektar, baru sekitar 3,4-3,5 juta hektar yang termanfaatkan," kata Bobby.
Bobby pun mengapresiasi langkah pemerintah yang mendorong pengembangan EBT lewat Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Asal tahu saja, dalam RUPTL 2021-2030, pemerintah menetapkan porsi EBT mencapai 51,6%.
Menurutnya, dengan demikian, perencanaan untuk pembangkit EBT maupun infrastruktur pendukungnya masuk dalam perencanaan oleh pemerintah dan PLN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News