Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Federal Reserve (The Fed) kembali mengerek suku bunga acuan dalam pertemuan komite pasar terbuka (FOMC) bulan Maret 2023. Dalam pertemuan yang digelar pekan lalu, Bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) sehingga suku bunga bergerak di level 4,75% hingga 5,00%.
Keputusan ini seiring dengan indikator ekonomi yang terjadi di negara Paman Sam, yang bergerak lebih kuat dari perkiraan semula. Ini juga menunjukkan momentum aktivitas ekonomi yang membaik dan kondisi inflasi yang lebih stabil.
Selain itu, para pentolan The Fed juga menyiratkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed akan menuju akhirnya. Ini terlihat dari proyeksi puncak suku bunga kebijakan The Fed pada tahun 2023 yang tetap pada level 5,25%.
Tak dipungkiri, kebijakan yang terjadi di negara superpower tersebut akan membawa dampak pada negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga: IMF Peringatkan Risiko Stabilitas Keuangan Meningkat dan Perlu Diwaspadai
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengungkapkan, apa yang terjadi dengan kebijakan The Fed memberi peluang bagi Bank Indonesia (BI) untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan hingga akhir tahun ini.
"Apa yang terjadi di perkembangan kondisi ekonomi tersebut, tetap memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% hingga akhir 2023," terang Faisal kepada Kontan.co.id, belum lama ini.
Faisal mengatakan, dengan sinyal The Fed tidak akan mengubah terminal rate di tahun 2023, ini berarti suku bunga kebijakan The Fed akan mendekati puncaknya.
Sedangkan dari dalam negeri sendiri, kondisi eksternal Indonesia cukup mumpuni. Hingga Februari 2023, neraca perdagangan Indonesia masih surplus sebesar US$ 5,48 miliar. Cadangan devisa pun naik ke level US$ 140,3 miliar.
Kondisi inflasi juga dalam tren yang melandai, turun dari 5,95% YoY pada September 2022 menjadi sekitar 5,47% di Februari 2023.
Kondisi ini pun berhasil mendorong nilai tukar rupiah untuk bergerak stabil, sehingga bisa menjangkar inflasi terutama dari sisi inflasi barang impor (imported inflation).
"Sehingga demikian, ruang bagi kenaikan suku bunga acuan BI lebih lanjut akan sangat sedikit pada tahun ini," jelas Faisal.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo pun pernah mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di global, memang menjadi salah satu pertimbangan BI dalam menentukan arah kebijakan moneter, termasuk suku bunga acuan. Kondisi yang dimaksud adalah baik itu kebijakan suku bunga acuan bank-bank sentral lain, hingga kondisi ekonomi lainnya.
Namun, Perry menekankan faktor eksternal tersebut bukan menjadi satu-satunya pertimbangan BI. Ada kondisi yang lebih esensial, yaitu peristiwa yang terjadi di dalam negeri.
Baca Juga: Incar Korporasi, BI Akan Meluncurkan Tiga Layanan Baru di BI Fast
"Kebijakan suku bunga didasarkan pada ekspektasi dan proyeksi inflasi dalam negeri ke depan. Selalu begitu. Kami memiliki otonomi dalam suku bunga kebijakan moneter," terang Perry.
Perry menambahkan, memang peristiwa yang terjadi di global seperti contohnya kolapsnya tiga bank di Amerika Serikat (AS) nantinya akan mempengaruhi kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Perry menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan BI dalam menentukan kebijakan moneter, termasuk suku bunga. Pertama, kondisi inflasi. Dengan inflasi yang mulai menurun, Perry yakin kenaikan suku bunga acuan sebesar 225 basis poin (bps) dari Agustus 2022 sudah memadai.
Apalagi, dengan melihat kondisi inflasi inti yang tetap bergerak di kisaran 3% secara tahunan. Inflasi inti merupakan inflasi fundamental yang menjadi dasar pertimbangan suku bunga.
Kedua, inflasi indeks harga konsumen (IHK). BI menargetkan inflasi IHK bisa di bawah 4% secara tahunan pada September 2023. Untuk menjaga hal ini, maka BI bergandengan tangan dengan otoritas menjaga inflasi terkait pangan agar tak terlalu bergerak liar.
"Sehingga dari dasar pertimbangan ini, maka statement kami ulang terus menerus bahwa kenaikan suku bunga selama ini dan sekarang suku bunga di 5,75% sudah memadai," katanya.
Meski begitu, Perry tak menampik apa yang terjadi di global akan mempengaruhi pasar keuangan Indonesia. Sehingga, otoritas tetap harus waspada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News