kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bergelut dengan Inflasi Tinggi, Ekonomi AS Diprediksi Makin Dekat ke Resesi


Rabu, 15 Juni 2022 / 05:10 WIB
Bergelut dengan Inflasi Tinggi, Ekonomi AS Diprediksi Makin Dekat ke Resesi

Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Ekonomi Amerika Serikat (AS) diprediksi makin dekat jurang resesi. Ini setelah Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dikabarkan akan menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin dalam pertemuan yang akan digelar pekan ini. Ini seiring dengan tingkat inflasi AS tetap memanas dan kondisi pasar keuangan yang tidak stabil.

Wakil Ketua ISI Evercore Krishna Guha menyampaikan kemungkinan The Fed menaikkan bunga 75 basis poin tersebut setelah sebelumnya bertahan dengan proyeksi kenaikan 50 basis poin. "Sepertinya kita salah dan 0,75% kemungkinan besar minggu ini," katanya seperti dikutip Reuters, Selasa (14/6).

AS diperkirakan berpeluang besar masuk resesi karena The Fed masih harus bergelut keras dengan inflasi. Hal itu disampaikan CEO Morgan Stanley, James Gorman.

Meski begitu, dia melihat, resesi yang akan terjadi tidak akan terlalu dalam. "Ada kemungkinan kita masuk ke dalam resesi, itu jelas, mungkin peluangnya sekarang 50-50 ," kata Gorman.

Baca Juga: BKF Prediksi The Fed Kembali Kerek Suku Bunga Acuan pada Bulan Juni 2022

Gorman bilang, persentase itu naik dari perkiraan risiko resesi sebelumnya yakni 30%. Menurutnya, AS tidak mungkin pada tahap ini masuk ke dalam resesi yang dalam atau panjang.

Ia berbicara ketika pasar terjun bebas di tengah ekspektasi bahwa bank sentral perlu secara agresif memerangi inflasi.

Eksekutif bank telah meningkatkan kekhawatiran tentang ekonomi baru-baru ini karena The Fed menaikkan suku bunga dan membalikkan program pelonggaran kuantitatif.

Meskipun potensi masuk resesi meningkat, ia yakin, The Fed pada akhirnya akan dapat menurunkan inflasi dari level tertinggi dalam multi-dekade. Pasalnya, walau pasar telah jatuh tahun ini, namun fundamental ekonomi, termasuk neraca konsumen dan perusahaan, berada dalam kondisi yang lebih baik daripada yang diperkirakan pasar.

Pada perdagangan awal pekan ini, Wall Street ambruk. Indeks S&P 500 mengkonfirmasikan berada di pasar bearish dan meningkatkan kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga agresif yang diharapkan oleh Federal Reserve dapat mendorong ekonomi ke dalam resesi.

Senin (13/6), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 876,05 poin atau 2,79% menjadi 30.516,74, indeks S&P 500 ambles 151,23 poin atau 3,88% ke 3.749,63 dan indeks Nasdaq Composite anjlok 530,80 poin atau 4,68% ke 10.809,23.

Dengan hasil ini, indeks acuan S&P telah melemah selama empat hari berturut-turut, penurunan beruntun terpanjang dalam tiga bulan. Alhasil, indeks S&P 500 sudah ambles 21,8% dari rekor penutupan tertinggi pada 3 Januari silam, untuk mengonfirmasi pasar bearish dimulai, menurut definisi yang umum digunakan.

Pasar bearish terpanjang berlangsung lebih dari lima tahun, dimulai pada 6 Maret 1937 dan berakhir pada 29 April 1942. Sementara yang terpendek berlangsung lebih dari sebulan, dimulai, pada 19 Februari 2020 dan berakhir pada 23 Maret 2020, untuk Indeks S&P dan Dow Jones.

Berdasarkan data CFRA Reserch, diperlukan waktu rata-rata lebih dari satu tahun bagi indeks untuk mencapai titik terendahnya selama pasar bearish, dan kemudian kira-kira dua tahun lagi untuk kembali ke level tertinggi sebelumnya.

The Fed dijadwalkan membuat pengumuman kebijakan berikutnya pada Rabu (15/6) dan investor akan sangat fokus pada petunjuk seberapa agresif bank sentral akan menaikkan suku bunga.

Baca Juga: Pasar Menanti Keputusan The Fed, Bursa Asia Ditutup Bervariasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×