Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai pengenaan denda atau menaikkan pajak ekspor mineral bagi perusahaan yang belum selesai membangun smelternya merupakan jalan tengah bagi pemerintah maupun pelaku usaha.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia menyatakan akan melarang ekspor konsentrat tembaga di tengah tahun ini menyusul pengumuman moratorium ekspor bijih bauksit yang akan dilaksanakan pada Juni 2023.
Namun pelarangan ekspor ini masih menuai pro-kontra lantaran penjualan mineral mentah tersebut masih dominan diekspor dan pabrik pengolahan hasil tambang (smelter) masih dalam proses pembangunan.
“Ya, solusinya seperti itu (pengenaan denda atau menaikkan pajak ekspor) win win solution,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (13/2).
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Mulai Groundbreaking Proyek Smelter Bahodopi
Rizal menyampaikan, saat ini pemerintah sedang menghitung untung rugi dan skema pengedaan denda apabila smelter tidak selesai di Juni 2023. Adapun ekspor konsentrat tembaga tetap diberikan kepada perusahaan yang memproduksi konsentrat tembaga.
Sebelumnya Rizal pernah menjelaskan bahwa penghentian ekspor tentu saja akan mengurangi pendapatan perusahaan (cashflow) untuk sementara, sampai pembangunan semlter selesai dibangun dan beroperasi.
“Namun di satu sisi Pemerintah juga memerlukan devisa dan pendapatan negara lainnya seperti pajak, royalti, dan lain-lain untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Rizal mengakui bahwa Perhapi tidak ikut dilibatkan dalam perhitungan tersebut karena seharusnya pemerintah yang melakukannya.
Meski mendapatkan kelonggaran ekspor dengan denda, Rizal pernah menuturkan, bagi perusahaan yang sedang menyelesaikan pembangunan smelter tersebut harus fokus merampungkan sesuai project time line-nya agar rencana pemerintah mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah ini dapat direalisasikan.
“Skema denda ini bisa juga diaplikasikan untuk komoditas bauksit ke perusahaan-perusahaan yang sedang menyelesaikan konstruksi refinery-nya,” ujarnya.
Senada, ahli pertambangan yang juga Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Periode 2005-2008, Simon Sembiring menyatakan selama ini sudah diberlakukan bea ekspor bagi konsentrat.
Apabila Juni 2023 konsentratnya belum dimurnikan dalam negeri, maka pemerintah dapat mengevaluasi apakah sudah ada unit pemurnian di Tanah Air yang dapat memurnikan konsentrat tersebut tersebut, khusus mineral logam.
Jika belum ada, Simon menyatakan, harus dilihat kembali apakah perusahaan penghasil konsentrat tersebut sudah punya program atau rencana membangun unit pemurniannya (smelter) sendiri atau belum.
Baca Juga: Pengembangan Industri Hilirisasi Nikel Terus Didorong Pemerintah
Kalau sudah punya, evaluasi selanjutnya berapa persen kemajuan pembangunannya. Kalau belum ada progres apapun, Simon bilang, pemerintah bisa langsung hentikan ekspor konsentratnya karena sudah diingatkan sejak lama sesuai UU Minerba. Di dalam beleid tersebut, pengusaha telah diberikan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan smelter yang sedang dibangun.
“Jangan lagi diberi kelonggaran karena sudah membangkang dan tidak ada upaya atau itikad baik untuk menghormati UU Minerba, apalagi Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) bahwa kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Namun jika fasilitas pemurnian sedang dibangun dan ada kemajuan, pemerintah harus memastikan sudah berapa persen kemajuan pembangunan dan kapan akan selesai. Jika kemudian, target pembangunan tidak terpenuhi, pemerintah bisa mengenakan kenaikan bea ekspor konsentrat dan tambahan denda.
“Hal seperti ini harus diatur jelas berupa PP/Kepres/Kepmen, dan diawasi secara ketat. Pemerintah jangan memberikan kelonggaran lagi. Negara ini bukan diatur para pangusaha!,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News