kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45981,69   -8,68   -0.88%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini kata pengamat soal maraknya start up merger dengan SPAC


Kamis, 20 Mei 2021 / 09:45 WIB
Begini kata pengamat soal maraknya start up merger dengan SPAC

Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan rintisan atau start up berencana melantai di bursa saham melalui mekanisme merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau special purpose acquisition company (SPAC).

Sebut saja Tiket.com yang baru-baru ini dikabarkan merger dengan salah satu SPAC asal Amerika Serikat (AS), yaitu Cova Acquisition Group. Kemudian, Grab Holdings yang merger dengan SPAC asal AS lainnya, Altimeter Growth Corp. Adapula Traveloka yang menjajaki kerja sama dengan SPAC demi mendapatkan dana segar.

Peneliti Centre of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menilai, gencarnya sejumlah start up raksasa dalam menggaet SPAC tak lepas dari keinginan mereka untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) di bursa saham.

Sebelumnya, perusahaan-perusahaan start up biasanya memperoleh pendanaan dengan sistem yang terdiri dari beberapa seri, mulai dari seri A, B, dan C. “Ketika sistem pendanaan tersebut dirasa sudah mencapai peak-nya, mereka perlu pendanaan baru. Di sinilah keluar ide untuk melantai di bursa,” ungkap Huda, Rabu (19/5).

Menurut dia, pasar saham AS menjadi tujuan utama beberapa perusahaan start up karena di sana memungkinkan adanya mekanisme kerja sama dengan perusahaan yang disebut SPAC. Secara umum, SPAC merupakan perusahaan yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum perdana agar bisa membuat perusahaan swasta menjadi perusahaan publik.

Baca Juga: Demi IPO, sejumlah start up terkemuka merger dengan SPAC

Nah, para start up ini sebenarnya belum bisa dibilang layak untuk IPO karena berbagai sebab. Misalnya, belum memiliki kinerja keuangan yang positif dan berkelanjutan. Hal ini wajar mengingat banyak start up yang cenderung jor-joran berinvestasi demi menggaet konsumen dan memperbesar pangsa pasarnya.

“Start up ini sering bakar uang sehingga kalau masuk ke bursa secara mandiri akan susah. Padahal, mereka butuh dana cepat dan besar, maka mekanisme merger dengan SPAC dipilih,” terang Huda.

Dia berpendapat, start up-start up digital tentu masih berpeluang meramaikan bursa saham di Indonesia mengingat IPO masih menjadi salah satu alternatif pendanaan yang menarik bagi mereka. Namun, hal tersebut kemungkinan baru bisa terwujud jika Bursa Efek Indonesia (BEI) melonggarkan syarat bagi perusahaan seperti itu untuk IPO.

Sebab, tidak dapat dipungkiri banyak perusahaan start up digital yang masih menorehkan kinerja keuangan negatif terlepas fakta bahwa perusahaan tersebut tetap memiliki prospek yang menarik secara jangka panjang, sehingga layak diperhitungkan oleh para investor di bursa saham.

Apalagi, belakangan ini investor pasar modal Indonesia sudah menaruh perhatian yang lebih terhadap saham-saham yang terlibat atau terdampak sentimen positif dari sektor bisnis digital dan teknologi. “Kalau aturan soal syarat perusahaan start up untuk IPO di dalam negeri diubah mungkin mekanisme dengan SPAC di AS perlahan-lahan bisa dikurangi,” pungkas dia.

Selanjutnya: Ini Alasan Perusahaan di AS Pilih Merger dengan SPAC untuk Catatkan Saham Bursa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×