kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45981,69   -8,68   -0.88%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bakal Rights Issue, Bagaimana Komposisi Kepemilikan Saham BRIS Nantinya?


Jumat, 09 Desember 2022 / 06:45 WIB
Bakal Rights Issue, Bagaimana Komposisi Kepemilikan Saham BRIS Nantinya?

Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk telah menetapkan harga pelaksanaan rights issue sebesar Rp 1.000 per saham. Bank bersandi saham BRIS ini akan merilis 4,99 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp 500 per saham. 

Bila semua saham baru itu diserap oleh investor, maka BSI akan meraup dana segar sebesar Rp 4,99 triliun melalui aksi penguatan modal ini. Pasca aksi korporasi ini, komposisi kepemilikan BRIS bakal berubah bila ada investor tidak melakukan haknya sehingga kepemilikan saham akan terdilusi.

Lantaran, Bank Mandiri telah menyatakan sikap untuk menyerap semua haknya. Sedangkan BNI sebagian, dan BRI belum menyatakan sikap. 

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha menyatakan akan mengeksekusi hak sebagai pemegang saham 50,83% dalam rights issue BSI. Ia menyebut langkah ini sebagai komitmen dalam pengembangan ekonomi syariah di dalam negeri. 

Baca Juga: Gandeng UI, BSI Berambisi Tingkatkan Literasi Keuangan Syariah di Atas 10%

“Aksi korporasi ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperdalam industri pasar syariah melalui peningkatan partisipasi investor publik di BSI. Ke depannya, langkah penguatan modal ini juga diharapkan akan dapat menjadikan BSI sebagai bank syariah terbesar di regional dan pemain utama di pasar syariah global, sesuai dengan amanah pemerintah,” ujar Rudi kepada KONTAN pada Kamis (8/12). 

Dalam prospektus rights issue, Bank Mandiri memiliki jatah 2,54 miliar HMETD BSI. Artinya, Bank Mandiri telah menyediakan dana paling sedikit Rp 2,54 triliun. 

Sedangkan BNI yang memegang 24,85% saham BSI juga menyerap saham baru ini. Namun, BNI hanya melaksanakan sebagian haknya sebesar 500 juta lembar saham baru dari seharusnya 1,24 miliar saham. 

BNI telah menyatakan menyiapkan dana sebesar Rp 500 miliar untuk memperkuat modal BSI. Sedangkan BRI belum menyatakan sikapnya terkait aksi korporasi yang tengah digelar BSI. 

Dengan begini, maka pasca rights issue ini akan terjadi pergeseran komposisi kepemilikan saham BSI. Saat ini, Bank Mandiri miliki 50,83%, BNI 24,85%, BRI 17,25%, publik 5,51%, dan investor lainnya yang di bawah 1%. 

Asal tahu saja, harga pelaksanaan rights issue ini berada di bawah harga pasar BRIS. Pada akhir perdagangan pasar modal pada Kamis (8/12), BRIS ditutup melemah 0,39% menjadi Rp 1.265 per lembar saham.

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani menyatakan secara umum harga rights issue memang ditetapkan di bawah harga pasar saham acuannya. 

“Ini memang standard practice untuk rights issue dan warrant dimana harga rights issue umumnya akan berada di bawah harga saham reguler untuk menarik minat investor. Sebagai upaya agar semua saham baru yang diterbitkan diserap oleh investor,” ujar Arjun kepada KONTAN pada Kamis (8/12). 

Ia menilai rights issue BRIS ini cukup menarik terlebih berdasarkan laporan keuangan, BSI memiliki fundamental cukup lumayan. Malahan, laba bersih BRIS untuk kuartal terkini meningkat signifikan bandingkan sama kuartal ke tiga tahun lalu.

“Selain itu kinerja keuangan mereka terlihat cukup bagus dan stabil. Prediksi saya terutama di waktu jangka pendek sebelum akhir tahun, ada potensi untuk rebound.” tambahnya. 

Baca Juga: UMKM Makin Tangguh, BRI Telah Rampungkan 54,5% Restrukturisasi Kredit COVID-19

Ia memasang target harga BRIS di level Rp  1.445 per lembar saham  dengan harga support Rp 1.200. Berdasarkan data RTI, BRIS memiliki price book to value (PBV) berada di level 1,89 kali. 

Berdasar data Infovesta, Rata rata PBV industri perbankan saat ini 3,51 kali. Artinya, secara valuasi, BRIS masih terbilang masih murah.

Asal tahu saja, BSI mencetak pertumbuhan laba bersih 42% tahunan menjadi Rp3,21 triliun hingga kuartal ketiga 2022. Didukung oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) 11,86% menjadi Rp 245,18 triliun.

Proporsi DPK didominasi oleh tabungan wadiah, giro dan deposito. Selain itu,  pembiayaan yang tumbuh mencapai Rp 199,82 triliun atau meningkat 22,35%. Raihan ini juga didukung oleh kualitas pembiayaan sehat yang tercermin oleh NPF Nett sebesar 0,59%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×