kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Awal Tahun 2022, Sejumlah Perusahaan Migas Mencatatkan Kinerja Cemerlang


Sabtu, 18 Juni 2022 / 05:45 WIB
Awal Tahun 2022, Sejumlah Perusahaan Migas Mencatatkan Kinerja Cemerlang

Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas lagi menikmati berkah dari tingginya harga minyak dunia yang saat ini nyaris mencapai US$ 120 per barel. Meskipun memperoleh kinerja yang baik, tidak serta-merta membuat perusahaan hulu migas jor-joran mengeluarkan dana untuk ekspansi. 

Melihat laporan keuangannya, sejumlah perusahaan migas mencatatkan kinerja yang cemerlang di awal tahun 2022. 

PT Medco Energi Internasional Tbk mencatatkan laba bersih naik hingga lebih dari menjadi US$ 90,51 juta di kuartal I 2022 dari yang sebelumnya US$ 3,9 juta di kuartal I 2021. Pada periode ini perusahaan berkode MEDC di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini juga turut mencatatkan EBITDA sebesar US$ 313 juta atau naik lebih dari dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Baca Juga: Suhbholding Upstream Pertamina Eratkan Hubungan Bilateral dengan Perusahaan Aljazair

Profit Medco Energi Internasional naik tinggi karena ditopang harga minyak rata-rata US$ 100/bbl atau 70% lebih tinggi tahun-ke-tahun dari sebelumnya US$ 59/bbl. Adapun harga penjualan rata-rata gas adalah US$ 7,7/mmbtu atau 35% lebih tinggi tahun-ke-tahun dari sebelumnya US$ 5,7/mmbtu.

Pendapatan yang diraih MEDC juga meningkat 58% yoy menjadi US$ 489,34 juta dari yang sebelumnya US$ 301,94 juta di kuartal I 2021. Di awal tahun ini pendapatan dari kontrak dengan pelanggan naik 63% yoy menjadi US$ 478,84 juta. 

Roberto Lorato, CEO MEDC mengatakan Medco Energi Internasional mengawali tahun 2022 dengan sangat baik.

“Ini berkat kinerja operasional dan keuangan yang kuat, memungkinkan Perseroan memberikan panduan dividen baru untuk mengapresiasi dukungan berkelanjutan dari pemegang saham kami,” jelasnya Kamis (16/6).

Sampai dengan Maret 2022,  MEDC mencatatkan produksi minyak dan gas meningkat secara signifikan sebesar 127 mboepd atau naik 26% tahun-ke-tahun. Adapun pro forma produksi migas sebanyak 184 mboepd dengan  biaya produksi sebesar US$ 8,0 per boe.

Kinerja yang cemerlang di awal tahun ini juga diraih oleh Shell. Melansir keterangan resmi Shell pada kuartal I 2022 pihaknya mencatatkan pendapatan senilai US$ 9,13 miliar atau naik dari sebelumnya US$ 3,23 miliar pada kuartal I 2021. Sejalan dengan kenaikan pendapatan, Shell  mencatatkan EBITDA yang disesuaikan tumbuh menjadi US$ 19 miliar atau naik dibandingkan kuartal IV 2021 yang senilai US$ 16,3 miliar. 

Baca Juga: Indonesia Memacu Produksi Migas, Lapangan Tua Butuh Investasi

Kenaikan kinerja keuangan ini ditopang segmen gas terintegrasi senilai US$ 4,09 miliar, disusul segmen upstream US$ 3,45 miliar, lalu chemicals & products senilai US$ 1,16 miliar, dan sisanya dari segmen lainnya. 

Saat ditanya mengenai dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap aktivitas bisnis Shell di Indonesia, VP Corporate Relations Shell Indonesia, Susi Hutapea mengatakan, pihaknya akan terus mencermati perkembangan yang ada terkait harga minyak dunia. 

“Kami terus mengevaluasi dampaknya terhadap aktivitas bisnis perusahaan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (17/6)

Di saat yang sama, Shell Indonesia juga tetap berfokus untuk memberikan produk dan layanan terbaik bagi para pelanggan. 

Setali tiga uang, Exxon Mobil Corp juga mencatatkan kinerja keuangan yang baik di awal tahun ini. Melansir laporan keuangannya di kuartal I 2022, Exxon Mobil Corp mencatatkan total pendapatan senilai US$ 5,48 miliar atau naik dari yang sebelumnya US$ 2,73 miliar di kuartal I 2021. Khusus di segmen upstream, pihaknya mencatatkan pendapatan senilai US$ 4,48 miliar atau naik dari yang sebelumnya US$ 2,55 miliar pada kuartal I 2021. 

Sekjen Aspermigas, Moshe Rizal mengatakan, kenaikan harga minyak dunia saat ini memang berdampak baik pada pendapatan (revenue) perusahaan hulu migas. Namun, naiknya pendapatan tersebut ditopang tingginya harga minyak dunia bukan karena dari sisi performa seperti mengerek kapasitas produksi atau investasi. 

“Dari sisi pendapatan memang bagus tetapi perusahaan migas justru berhati-hati dalam investasi terutama di sektor hulu. Penyebabnya, meskipun harga minyak memang tinggi saat ini tapi pergerakannya sangat fluktuatif, ini yang menambah ketidakpastian,” jelasnya saat dihubungi terpisah. 

Sejak beberapa tahun terakhir, memang terjadi penurunan investasi hulu migas di Indonesia. Selain itu produksi migas cenderung turun sehingga perusahaan saat ini sedang dalam fase menjaga produksi yang ada. 

Di sisi lain, tantangan terbesar yang diihadapi industri hulu di Indonesia adalah lapangan migas yang sudah tua (mature). 

Baca Juga: Transisi Energi Terbarukan Secara Global Belum Terwujud

“Lapangan yang sudah tua itu membutuhkan biaya lebih besar untuk menaikkan produksinya, tidak serta merta bisa naikin produksi. Harus ada teknologi tambahan, analisa tambahan untuk mengetahui bagaimana cara yang tepat naikin produksi. Ujung-ujungnya memerlukan biaya yang lebih besar sedangkan pembiayaan lagi ketat,” jelas Moshe. 

Hal ini menjadi dilema bagi perusahaan migas karena di saat harga tinggi tentu pelaku usaha ingin menaikkan produksinya, tetapi kendalanya dari dana untuk membiayai produksi itu. Sektor migas memang dikenal sebagai bisnis yang berisiko tinggi dan perlu investasi yang besar pula. 

Tidak hanya soal lapangan migas yang mature, dengan adanya situasi global saat ini di mana baru selesai pandemi dan terjadi perang Rusia-Ukraina membuat gejolak di mana-mana. Perihal agenda transisi ke energi yang lebih bersih juga menjadi tekanan tersendiri bagi industri migas yang dituntut agar aktivitas bisnisnya rendah emisi. 

“Pada intinya, meskipun kinerja perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas sedang bagus, mereka akan jauh lebih berhati-hati dalam berinvestasi karena sudah pengalaman saat 2008 dan 2014 ketika harga minyak dunia sempat tinggi lalu kemudian turun dan stagnan di level kisaran US$ 30 per barel,” ujarnya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×