Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JENEWA. Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan organisasi internasional tersebut sangat prihatin dan cemas dengan meningkatnya laporan penyakit virus corona yang parah di seluruh China.
Seperti yang diketahui, laporan penyebaran COVID yang parah di China terjadi setelah negara itu melonggarkan kebijakan "nol COVID".
WHO memperingatkan, tingkat vaksinasi yang lambat dapat mengakibatkan sejumlah besar orang yang rentan terinfeksi.
Melansir Associate Press, pada konferensi pers yang digelar Rabu (21/12/2022), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan badan PBB membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan COVID-19 di China. Hal ini terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan unit perawatan intensif, untuk membuat penilaian risiko yang komprehensif dari situasi tersebut.
“WHO sangat prihatin dan cemas dengan perkembangan situasi di China dengan meningkatnya laporan penyakit parah,” kata Tedros.
Dia menambahkan, meskipun kematian akibat COVID telah turun lebih dari 90% sejak puncak globalnya, masih ada terlalu banyak ketidakpastian tentang virus tersebut untuk menyimpulkan bahwa pandemi telah berakhir.
Baca Juga: Beijing Menghadapi Lonjakan COVID, Risiko Mutasi Menjadi Perhatian Ahli
Beberapa ilmuwan telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 yang tidak terkendali di China dapat memicu munculnya varian baru, yang mungkin mengurai kemajuan yang dibuat secara global untuk mengatasi pandemi tersebut.
“Vaksinasi adalah strategi keluar dari omicron,” kata kepala kedaruratan WHO Dr. Michael Ryan.
Ryan mengatakan ledakan kasus di China tidak semata-mata karena pencabutan banyak kebijakan pembatasan negara itu dan tidak mungkin menghentikan transmisi omicron, varian COVID-19 yang paling menular yang pernah terlihat.
Ada dua alasan mengapa kondisi COVID-19 China patut mendapat perhatian. Pertama, tingkat vaksinasi di antara orang yang berusia di atas 60 tahun di China tertinggal dari banyak negara lain. Kedua, kemanjuran vaksin buatan China sekitar 50%.
“Itu bukan perlindungan yang memadai dalam populasi sebesar China, dengan begitu banyak orang yang rentan,” kata Ryan.
Baca Juga: Khawatir Gelombang COVID-19 China yang Baru, Dunia Pikirkan Cara Membantu Xi Jinping
Ryan menambahkan, meskipun China telah secara dramatis meningkatkan kapasitasnya untuk memvaksinasi orang dalam beberapa minggu terakhir, tidak jelas apakah itu akan cukup.
Hingga saat ini, China telah menolak untuk mengotorisasi vaksin messenger RNA buatan Barat, yang telah terbukti lebih efektif daripada vaksin buatan lokalnya. Beijing setuju untuk mengizinkan pengiriman vaksin BioNTech-Pfizer untuk diimpor, yang akan diberikan untuk orang Jerman yang tinggal di China.
“Pertanyaannya tetap apakah cukup vaksinasi dapat dilakukan dalam seminggu atau dua minggu mendatang yang benar-benar akan menumpulkan dampak gelombang kedua dan beban sistem kesehatan,” kata Ryan.